Kalau bukan bersama mereka, aku tak tahu lagi harus bagaimana menjalani hari-hari terakhirku di tempat ini. Semenjak aku kenal keduanya, aku sudah sangat terbiasa dengan keberadaan mereka. Hilang satu seperti kehilangan sepertiga jiwa. Mungkin terdengar berlebihan, tapi itulah arti mereka bagi seorang aku.
Dulu, aku sering hilang ditelan keramaian karena imajinasiku sendiri. Aku terlalu sering asyik dengan duniaku sendiri sebelum akhirnya membawa mereka, dua orang itu, masuk ke dalam dunia dongeng seorang Sara Ernesia.
***
Denyit pintu yang ku buka menandakan aku masih seorang diri pagi ini. Ah, lagi-lagi terlalu dini, begitu pikirku. Bangku yang berada di sudut ruang menjadi pilihan pertamaku. Aku duduk, memasang headset pada dua telingaku, menghubungkan dengan selular, dan menyalakan music playernya. Novel yang sedari tadi di genggamanku, ku buka dan aku mulai tenggelam dalam dunia imajinasiku sendiri.
Sekitar 20 menit sampai pintu itu kembali terbuka dan sesosok lelaki muncul dari baliknya. Damar. Tidak mungkin orang lain pikirku. Aku melirik sebentar dan membenarkan pikirku sendiri. Gayanya 'slengean' seperti biasa. Ia buang tasnya dari pundaknya ke atas meja tepat di depan bangkuku. Kemudian, ia terduduk di bangkunya.
"Hei Ra..," sapanya.
Aku cuma mendongakkan kepala dan mengulum senyum.
"Lepas dong headsetnya..." pintanya sambil merajuk.
Entah mengapa, jika ia yang meminta aku tak pernah berkata tidak. Ku lepas headsetku dan mulai menyiapkan telingaku, seperti sudah kebiasaan melakukan hal itu.
"Kiera minta putus lagi." ceritanya dimulai, tapi aku memilih diam tanpa perlu bertanya mengapa. Berapa lama hanya diam yang tercipta di antara aku dan Damar.
"Kok diem..?" "Aku harus komentar apalagi Dam?" tanyaku sedikit heran.
Ia diam. Ia sadar apa yang ku katakan benar, lalu ia berkata, "Nanti lagi deh ceritanya, tuh si Bawel dateng."
Aku menatap seorang gadis dengan kesempurnaannya. Rambutnya panjang, hitam kecoklatan, tubuhnya langsing seperti idaman para lelaki dan menjulang tinggi. Gayanya anggun sekali ketika ia memasuki ruang kelas lalu duduk tepat di sampingku. Senyumannya yang lebar terlukis di wajahnya yang cantik itu.
"Hai Ra, Dam..gue ketinggalan berita apa nih?" tanyanya kepada kami berdua.
"Gak kok, dari tadi juga Sara diem aja..biasa, membisu kan udah jadi tabiatnya," jawab Damar sambil mengejek ke arahku.
Tawa Rana memecah kesunyian kelas yang masih dihuni tiga batang hidung di sudutnya. Aku melirik ke arah Damar dan kulihat wajahnya sudah bercahaya lagi sejak Rana datang pagi ini. Dasar bertopeng, pikirku.
Entah mengapa, aku pun tak tahu menahu, Damar tidak pernah menunjukkan air muka kesedihannya bila ada Rana di sekitarnya. Bahkan ia menjadi 100 persen berbeda dari suasana hatinya. Aku menerka-nerka dalam hati, tak lama lagi Rana akan menjadi pengganti Kiera, kekasihnya yang sudah ia kencani sejak kelas 3 SMP itu. Di tatapan mata Damar ada cahaya kebahagiaan yang terpancar tiap kali ia menyambut tawa Rana. Walau seringkali ia mengejek Rana dengan panggilan 'si Bawel'.
"Nanti istirahat temenin ke kantin ya Ra!" pinta Rana tiba-tiba, seraya membangunkan lamunanku.
"Ah..iya Ran.." jawabku sembari tersenyum.
"Gue gak diajak nih?" sambung Damar sambil becanda.
"Ya ikut aja Dam...biasanya juga ngintil" timpal Rana yang memang adalah suatu fakta dari seorang Damar. Aku pun jadi mau tak mau ikut tertawa kecil mendengar jawabannya.
***
No comments:
Post a Comment