Mar 24, 2014

#2 : Keresahan Damar

Entah mengapa, aku tidak bisa menerima bila Kiera mengeluarkan kata 'putus', yang mungkin sudah kesekian kalinya. Sekalipun sudah berulang kali Sara menjajakkan nasehat-nasehatnya, dan sudah berulang kali hatiku menyetujui untuk berakhir, tapi akhirnya aku memilih untuk bertahan dengan gadis yang menjadi kekasihku sejak di bangku SMP. Gadis yang cerdas, periang, tapi pencemburu. Sangat.
Lucunya, ia bagaikan kedua sahabatku menjadi satu tubuh dan jiwanya. Pribadi Kiera terbagi dalam diri Sara yang pintar dan Rana yang supel. Kiera tidak menyukai kedekatanku dengan keduanya, tapi aku bersikap tak acuh dengan hal itu. Padahal, seorang Airlangga Damar Putra bukanlah orang yang suka dikekang, apalagi dilarang, tetapi malah bertahan dengan gadis ini. Tetapi apa benar aku ingin berakhir karena sikap Kiera, ataukah ada alasan lain yang belum mau diakui hatiku?

***


Pagi ini aku bangkit dari tempat tidurku dengan enggan. Entah rasanya tidak niat untuk beranjak ke sekolah. Tapi, mengingat akan ku temui seorang yang bisa mengembalikan semangatku, aku segera bersiap diri, menyalakan mesin, dan menjalankan mobilku melesat ke lapangan parkir sekolah.

Ku masuki ruang yang penuh keheningan itu. Pasti baru Sara yang datang, gumamku sambil membuka daun pintu cokelat itu. Aku menuju gadis yang diam dengan dunianya sendiri itu, duduk tepat di depannya, yang belakangan ini menjadi kebiasaanku, setelah melempar tasku dengan malas ke atas meja. Maksudku mengagetkannya, sayangnya tidak berhasil.

Aku menyapanya singkat tapi hanya dibalas senyum. Bagaimana mau cerita yaa kalau gini, pikirku sambil menatapnya. Akhirnya ku pinta ia melepaskan headset yang menggantung di telinganya itu. "Lepas dong headsetnya, Ra...."
Tanpa pikir panjang Sara melepaskan headsetnya, kemudian matanya menatap tajam tepat ke arah bola mataku. Muka lugunya itu seperti menunggu sesuatu keluar dari mulutku. Ia tahu aku ingin bercerita soal Kiera lagi. Aku kadang sampai heran, ia tidak pernah bosan mendengarkan ceritaku yang seringkali sama. Seolah berat aku menghela napas sesaat, lalu memulai ceritaku.
"Kiera minta putus lagi..."
Aku lalu diam. Tidak berani memandang mata Sara. Aku diam dan menunggu responnya, tetapi hanya hening yang muncul saat aku palingkan muka ke arahnya. "Kok diem?" "Aku harus komentar apa Dam?" tanyanya masih dengan suara lembut. Ah benar juga, aku membenarkan perkataannya karena aku belum cerita apa penyebabnya. Mengenai putusnya aku dengan Kiera, Sara sudah seringkali mengeluarkan titah-titah yang sudah diterima berulangkali pula oleh pendengaranku. Sampai akhirnya aku mendengar pintu cokelat itu terbuka lagi. Rana datang. Aku segera menyudahi ceritaku. Si Bawel itu pasti akan komentar macam-macam kalau ia melihat mukaku bertekuk seperti ini.

Boleh diakui semua mata, Rana itu gadis sempurna. Cantik, ramah, langsing, tinggi. Sempurna. Mungkin seperti itu penggambarannya, dan setelah mengenalnya, gadis itu ternyata sangat ceria dan berisik. Beruntung aku mengenalnya di tahun terakhir ini. Suara yang hangat itu kemudian menyapaku dan Sara, "Hai Ra, Dam....ada berita apa nih?"
Aku segera menjawab sebelum Sara bersuara, "Enggak kok, Sara diem dari tadi. Biasa, membisu kan udah jadi tabiatnya Ran.." sembari menjulurkan lidahku. Mata Sara segera membelalak ke arahku melihat tingkahku.

Selama ini, soal Kiera, aku tidak ingin Rana tahu menahu. Entah karena apa, mungkin karena mengingat pertama kali aku bercerita soal Kiera dihadapannya, ia bertingkah dan berusaha setengah mati untuk membuatku tidak bersedih. Saat itu tidak ada Sara. Tentunya, ia menghibur dengan kebawelannya itu.

Setelah itu ku lihat Sara sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia senang sekali melamun sepertinya. Aku tidak pernah bisa membaca suasana hatinya. Kalau kata Rana, si Gadis Penuh Misteri. Bahkan, ia tidak pernah mencurahkan hatinya kepadaku atau pun pada Rana, padahal ia selalu menjadi kotak bagi rahasia-rahasiaku. Tidak seperti Rana, yang selalu senyum, dan hari-harinya penuh dengan tawa, seolah hidupnya tidak pernah menyimpan derita, walau aku tidak berani untuk tahu seluk-beluk kehidupan sebenarnya. Tetapi, ia selalu memikirkan apa yang membuatnya bahagia dan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan, yang bahkan tidak penting sekalipun. Seperti sekarang ini misalnya, belum-belum ia sudah meminta Sara menemani ke kantin. Padahal ini masih pagi hari.
"Gue gak diajak nih?" aku ikut 'nimbrung' dalam pembicaraannya.
"Ikut aja Dam...kayak biasanya gak ngintil aja lo" jawabnya penuh canda yang disusul tawa kecil Sara.

Ia tersenyum. Aku senang sekali melihatnya. Aku senang dengan senyumannya yang secerah matahari itu. Dengan begitu, ia seperti menunjukkan dirinya yang utuh pada aku dan gadis di sampingnya. Sayang, aku tidak pernah bisa menjangkau hatinya, mungkin karena aku tidak pernah melibatkan diri dengan hatinya, dan bodohnya aku belum bisa melepas diriku dari penjara bernama Kiera.

***

No comments:

Post a Comment