Apr 1, 2014

#3 : Isi Hati Rana

Sahabat bagiku hanya ilusi. Dulu, tepatnya. Karena sekarang aku punya mereka, Sara dan Damar. Mereka yang mengisi hari-hariku dan mengubahnya menjadi pengalaman-pengalaman yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, saat aku masih terkurung dengan kesendirian. Kesendirian karena ditinggalkan dan meninggalkan terlalu sering. Sampai di titik ini, aku merasa enggan untuk beranjak sekali lagi. Aku memilih untuk diam, memilih untuk menetap sejenak. Setidaknya untuk menyisakan bekas-bekas yang berarti dalam hidupku ini. Dan sejak menginjak usia dewasa, aku, Ranaya Adinda, memiliih untuk tinggal jauh dari kedua orangtuaku.

***


Mendengar alarmku berbunyi berkali-kali cukup mengusik nyenyak tidurku pagi ini. Aku segera bangkit dan mempersiapkan diri ke sekolah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 dan sebelum pukul 6 tepat aku harus tiba di stasiun, kalau tidak aku akan ketinggalan kereta lagi.
Seusai mandi, aku beranjak ke dapur dan mempersiapkan sarapan. Segelas susu coklat hangat dan sepotong roti berisi telur mata sapi, buatanku sendiri. Untukku tentunya, yaa, karena aku harus tinggal sendiri di tempat ini. Apartemen kecil yang dihadiahkan ayah dan bunda saat usiaku menginjak 17 tahun. Aku memutuskan untuk seperti ini dibandingkan aku harus ikut ayah-bunda berkelana ke negeri barat selama ayah dinas kerja di sana, yang entah berapa lama. Sudah cukup rasanya sewaktu aku kecil aku berpindah-pindah sekolah dan kali ini, sejak kelas 11 aku mengenal Sara, aku tidak ingin berpisah secepat itu. Sampai di bangku senior ini, aku sekelas lagi dengannya dan aku baru mengetahui, ia punya seorang teman dekat lelaki. Selama setahun aku tidak pernah melihatnya berteman dan begitu dekat dengan laki-laki, tetapi sejak kelas 12 ini, ia menjadi sangat dekat dengan Damar. Entah karena apa. Awalnya aku cemburu dengan pertemanan itu, di antara keduanya aku seperti 'the outsider'.

Segera aku meraih tas ranselku dan pergi ke stasiun yang jaraknya hanya sekian meter dari tempat aku tinggal. Fiuh, aku menghela napas. Untung saja keretanya belum berangkat, akhirnya setelah beberapa hari aku datang di saat bel hampir berbunyi, aku bisa datang pagi dan duduk di antara Sara dan Damar.

Ku buka pintu kelas dengan semangat dan mataku langsung tertuju pada sudut kelas. Ada Sara dan Damar di sana, seperti sedang berbincang mengenai suatu hal yang, mungkin, serius. Aku dapat melihat dari tatapan mata Sara sekalipun mulutnya itu terkunci rapat. Aku lalu duduk di sampingnya, dan menyapa mereka, "Hai, gw ketinggalan berita apa nih?" tanyaku sedikit menyelidik terutama pada Damar, meski aku tahu ia lagi-lagi akan mengelak.
"Gak kok Ran, Sara aja diem dari tadi..biasalah udah tabiatnya dia bisu.."
Mendengar itu dan melihat reaksi Sara yang melotot, aku jadi mau tak mau tertawa. Tetapi begitulah Damar, sekalipun masih ada cemburu dalam hatiku jika melihatnya, aku merasa ia bisa membangun suasana bahagia. Berada di antara keduanya membuat aku lupa kesendirianku.

Hanya satu kali Damar terlihat sedih di depanku. Hari itu Sara tidak masuk sekolah dan pagi-pagi aku melihat mukanya bertekuk, air wajahnya menyimpan pedih. Aku duduk di sebelahnya dan memilih diam setelah menyapanya singkat, "Hai, Dam.." "Hei, Ran" jawabnya santai. Hening tercipta sampai aku memandang wajahnya, yang tenang, menarik, tetapi terkesan rapuh. Ada air mata di sana, mengalir dari pelupuk matanya. Aku mengelus lembut pundaknya dan pecahlah tangis, sambil ia bercerita. Ini pertama kalinya aku mendengar nama gadis yang dicintainya, Kiera. Ia bertengkar dengan gadis itu, pacarnya sejak SMP. Seharian aku berusaha membuang muka sedihnya, aku berceloteh tanpa henti hingga ia melupakan sejenak sedihnya, lukanya, dan akhirnya ia tertawa. Aku tidak pernah tahu kelanjutan hubungannya, karena sejak itu Damar tidak pernah terlihat sedih lagi. Tepatnya, di depanku.

Melihat Sara kembali hening aku tidak mau ia tenggelam terlalu lama dalam pikirannya. Benar kata Damar, ia terlalu sering membisu. Jika menatapnya aku seperti melihat banyak rahasia tak terbuka. Oleh karena itu, aku memanggilnya Si Gadis Penuh Misteri. Sara, bukannya ia tidak pernah, tapi jika tidak dipaksa atau tidak mendesak ia tidak akan bercerita apa isi hatinya. Maka aku membuyarkan lamunannya.
"Ra..! Temenin ke kantin yaa nanti.."
"Ah..iya Ran," jawabnya terkaget.
"Gw gak diajak nih?" sela Damar ke arahku.
"Ikut ajalah, kayak gak biasa 'ngintilin' kita aja lo Dam.." Aku tertawa seraya menanggapi reaksinya. Sambil berpikir dalam hati, gak mungkin tanpa lo kan Dam?

***

No comments:

Post a Comment